Banyak orang cenderung mengabaikan kerugian meski jumlahnya jelas terlihat. Pelajari alasan psikologis, bias kognitif, dan faktor emosional yang membuat kerugian terasa “tidak terlalu penting”, serta bagaimana cara menyikapinya secara lebih bijaksana.
Dalam berbagai aktivitas, terutama yang melibatkan peluang dan pengambilan keputusan cepat, manusia sering kali mengabaikan kerugian yang sebenarnya cukup besar. Menariknya, perilaku ini tidak hanya terjadi dalam permainan, tetapi juga dalam belanja impulsif, investasi emosional, hingga kebiasaan sehari-hari. Mengapa kerugian yang seharusnya menjadi alarm justru sering tidak dipedulikan?
Fenomena ini berkaitan erat dengan cara otak memproses rasa kalah, bias kognitif yang bekerja tanpa disadari, serta dorongan emosional yang membuat seseorang melihat kerugian sebagai “hal kecil yang bisa ditutup nanti”. Memahami alasan di baliknya dapat membantu seseorang membuat keputusan yang lebih cerdas dan tidak mudah terjebak dalam penilaian keliru.
1. Otak Manusia Tidak Suka Fokus pada Hal Negatif
Secara psikologis, otak cenderung menghindari hal yang membuat stres atau tidak nyaman. Kerugian, sekecil apa pun, memicu perasaan gagal atau kecewa. Untuk melindungi diri dari emosi yang tidak menyenangkan, otak kadang memilih untuk:
-
mengalihkan perhatian,
-
memperkecil makna kerugian, atau
-
menutupi kerugian dengan alasan rasionalisasi.
Itulah sebabnya seseorang sering berkata, “Ah, cuma segitu,” padahal secara akumulasi kerugian tersebut cukup besar. Pengabaian ini adalah bentuk mekanisme pertahanan diri agar emosi tidak terganggu.
2. Efek Gambler’s Fallacy: Yakin Kerugian Akan “Dibalaskan”
Banyak orang mengabaikan kerugian karena mereka percaya bahwa setelah beberapa kali rugi, keberuntungan akan datang sebagai penyeimbang. Ini disebut gambler’s fallacy—sebuah bias yang membuat seseorang menganggap hasil sebelumnya memengaruhi hasil berikutnya, padahal tidak ada hubungan sama sekali.
Keyakinan ini membuat kerugian terasa tidak terlalu mengganggu, karena otak menciptakan harapan bahwa “pasti nanti akan balik modal”. Padahal, harapan tersebut tidak berdasarkan kenyataan, melainkan interpretasi emosional.
3. Fokus Lebih Kuat pada Momen Positif
Meskipun penelitian menunjukkan bahwa manusia memiliki kecenderungan lebih kuat merasakan dampak kerugian daripada keuntungan, dalam konteks tertentu kerugian justru mudah diabaikan karena pemain atau individu lebih fokus pada kemenangan kecil yang sesekali terjadi. Ini dikenal sebagai selective memory atau ingatan selektif.
Bias ini membuat seseorang hanya mengingat:
-
kemenangan yang menyenangkan,
-
momen mendebarkan,
-
atau peristiwa yang membuat mereka merasa berhasil.
Sementara itu, kerugian dianggap bagian dari “proses normal”, sehingga perlahan-lahan hilang dari fokus.
4. Rasionalisasi sebagai Bentuk Pembelaan Diri
Ketika seseorang mengalami kerugian, sering kali muncul pembenaran seperti:
-
“Tadi cuma coba-coba.”
-
“Kerugiannya kecil kok, tidak apa-apa.”
-
“Nanti juga ketutup kalau dapat hasil bagus.”
Rasionalisasi adalah cara otak mempertahankan ego agar seseorang tidak merasa bodoh atau buruk dalam mengambil keputusan. Karena tidak ada yang ingin mengakui kesalahan, otak memilih menganggap kerugian sebagai masalah minor—even jika kenyataannya signifikan.
5. Sensasi “Hampir Menang” Membuat Kerugian Tidak Terasa
Ketika seseorang merasa nyaris menang dalam sebuah aktivitas, kerugian yang terjadi seolah-olah tidak memiliki bobot yang besar. Sensasi hampir menang memberi ilusi bahwa upaya tersebut berada di jalur yang tepat, sehingga kerugian dianggap sebagai konsekuensi kecil yang bisa diterima.
Fenomena ini membuat champion4d atau individu merasa bahwa kegagalan hanyalah bagian dari perjalanan menuju keberhasilan, bukan sinyal untuk berhenti.
6. Dopamin yang Menipu Perasaan Realistis
Dalam banyak aktivitas yang menegangkan atau memberikan adrenalin, otak melepaskan dopamin—hormon yang membuat seseorang merasa senang, penasaran, dan ingin melanjutkan. Dopamin tidak membedakan antara hasil baik atau buruk; ia merespons pada rasa antisipasi dan ketidakpastian.
Akibatnya, seseorang mungkin tetap merasa bersemangat meski sedang mengalami serangkaian kerugian. Karena dopamin menguatkan sisi emosional, cara penilaian logis dapat melemah, sehingga kerugian tampak “tidak seberapa”.
7. Harapan Berlebih dan Optimisme Tidak Realistis
Optimisme memang baik, tetapi optimisme yang tidak realistis dapat menyebabkan seseorang terus mengabaikan kerugian. Banyak orang percaya bahwa mereka “hanya butuh satu kesempatan lagi” untuk membalik keadaan. Pemikiran seperti ini menciptakan ilusi bahwa kerugian hanyalah batu kecil sebelum kesuksesan.
Padahal yang sering terjadi, kerugian bertambah tanpa disadari karena sikap optimis tersebut menutupi fakta bahwa keputusan yang dibuat tidak didasari pada data maupun analisis yang objektif.
Kesimpulan
Kerugian lebih mudah diabaikan bukan karena nilainya kecil, melainkan karena cara otak dan emosi memproses pengalaman negatif. Faktor seperti bias kognitif, ilusi hampir menang, dopamin, dan rasionalisasi membuat seseorang sulit melihat kerugian secara objektif. Memahami hal ini adalah langkah pertama agar seseorang bisa mengendalikan diri, menganalisis situasi dengan lebih tenang, dan membuat keputusan yang lebih bijaksana.
